Video Call, Rapat Virtual, dan Masa Depannya

video call dan jasa subtitle
jasa subtitle
Presiden Joko Widodo mengikuti KTT ASEAN tentang COVID-19 secara daring. (merdeka.com/Lukas)

Video Call, Rapat Virtual, dan Masa Depannya — Halo semuanya, gimana kabar kalian? Nggak terasa ya, saat ini udah setahun lebih sejak pemerintah mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Saat itu, dua orang asal Depok, Jawa Barat dinyatakan terjangkit virus mematikan ini setelah sebelumnya tertular dari seorang ekspatriat asal Jepang di Jakarta. Sejak saat itu, Indonesia tidak lagi sama seperti sebelumnya, seperti halnya yang terjadi di negara-negara yang duluan ‘ketularan’ COVID-19.

Nggak peduli lagi siapa pun kita, kita semua sudah merasakan dampak dari penyakit yang kini menjadi pandemi itu – sekalipun kita belum dinyatakan positif. Sekolah-sekolah ditutup, tempat-tempat umum dibatasi, kegiatan yang mengundang keramaian pun ditiadakan (bahkan dibubarkan). Belum lagi semua wajib pakai masker saat keluar, wajib menjaga jarak, dan wajib mencuci tangan.

Bisa dibilang, hampir semua aspek kehidupan kita terpengaruh. Segala kegiatan yang sebelumnya bisa dilakukan secara luring (offline) harus diadakan secara daring (online). Di saat pandemi, platform konferensi video (video conference) seperti Zoom dan Google Meet banyak digunakan; sementara platform video dan siniar/podcast daring seperti YouTube dan Spotify kian ramai dengan konten digital – yang sebagiannya ‘pindahan’ dari kegiatan luring. Bahkan akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan Clubhouse, media sosial baru berbasis chat audio, yang banyak digunakan untuk mengadakan diskusi setelah dipopulerkan oleh Elon Musk.

Di satu sisi, kita patut bersyukur karena internet telah merambah ke aspek sehari-hari, sehingga kegiatan daring bisa cepat terealisasi dalam bentuk digital. Di sisi lain, dengan semua kegiatan yang bisa diadakan secara daring, mungkinkah kegiatan luring seperti rapat dan konser terhapus begitu saja?

Baca juga: Undang-Undang, Sanksi, Dampak, dan Cara Menghindari Plagiarisme

Asal Mula Video Conference dan Video Call

Teknologi komunikasi melalui video memudahkan kita untuk berkomunikasi layaknya bertemu langsung. Kita bisa melakukan panggilan video secara daring dengan satu atau beberapa orang secara bersamaan. Mulai dari reuni sampai rapat kantor, semua bisa dilakukan lewat platform ini. Bagaimana bisa muncul?

Platform konferensi video yang kita kenal sekarang bermula dari teknologi panggilan video (video call) yang sudah ada sejak awal abad ke-20. Namun, lompatan besar teknologi ini baru dimulai saat Bell System, operator telepon terbesar di Amerika Serikat (AS), meluncurkan purwarupa bernama Picturephone pada tahun 1964. Picturephone memungkinkan seseorang melakukan panggilan telepon sambal melihat langsung sosok yang ia telepon. Bell System memulai bilik Picturephone pertamanya di New York, Chicago, dan Washington, D.C.

jasa subtitle
Picturephone model pertama pada 1964. (AppWikia.com)

Picturephone lalu dimodifikasi dan dijual secara komersial pada tahun 1970. Namun, cukup mahalnya biaya telepon dan terbatasnya pelanggan membuat layanan ini tidak berkembang dengan baik dan akhirnya dihentikan. Walau begitu, perkembangan telepon video tetap dilanjutkan oleh sejumlah perusahaan elektronik, seperti Philips, Ericsson, dan Mitsubishi.

Pada 1984, perusahaan asal AS PictureTel Corp. meluncurkan sistem perangkat lunak konferensi video pada komputer dengan target korporasi besar. Sama dengan Picturephone, PictureTel Corp. tidak banyak diterima pasar dan baru mulai mendapat untung tiga tahun setelah didirikan. Dekade 1990-an menandai munculnya perangkat telepon rumah dengan video. Panggilan video baru berkembang pesat setelah era internet dan munculnya telepon genggam (HP) berkamera.

Salah satu pelopor layanan panggilan video via internet adalah Webex. Didirikan tahun 1999, Webex mulanya berfokus pada layanan konferensi video untuk kebutuhan bisnis. Di tahun 2007, Webex menjadi bagian dari perusahaan teknologi Cisco.

Layanan yang muncul kemudian adalah Skype, yang berdiri pada tahun 2003. Skype menggunakan teknologi Voice over Internet protocol (VoIP) khusus bernama “protokol Skype” untuk menjalankan layanannya. Skype melesat menjadi perangkat lunak konferensi video paling terkenal di dunia, dan kini menjadi bagian dari raksasa teknologi dunia Microsoft.

Apple ternyata juga tidak mau ketinggalan, dengan meluncurkan layanan serupa bernama iChat. iChat diluncurkan di tahun 2002, dan hanya terdapat pada produk buatan Apple. iChat lalu dihentikan pada 2010 dan digantikan dengan FaceTime. Platform lain yang ikut meramaikan pasar ini adalah Zoom, yang didirikan oleh Eric Yuan dan kawan-kawan pada tahun 2011 dan Google Meet diluncurkan oleh raksasa internet Google pada tahun 2017.

Popularitas layanan konferensi video melejit saat karantina diberlakukan di berbagai negara untuk menghentikan laju pandemi COVID-19. Zoom dan Google Meet, misalnya, digunakan masing-masing 300 juta pengguna dan 200 juta pengguna dalam sehari berdasarkan data di April 2020. Untung pun tidak bisa ditolak. April 2020 saja, Zoom meraup keuntungan $328,2 juta (sekitar Rp 4,7 triliun), meningkat 169 persen dibanding data yang sama tahun lalu.

Baca juga: Apa Itu Tenses? Pelajari Macam-Macam Tenses dan Contohnya di Sini

Video Call, Gantikan Tatap Muka?

Dengan semakin maraknya pertemuan daring akhir-akhir ini, sebagian orang memprediksi layanan konferensi video dapat menggantikan pertemuan tatap muka. Tidak ada lagi rapat rutin di kantor, misalnya, atau bahkan kerja di kantor, karena semua orang dapat berkantor dari rumah dan dapat melangsungkan rapat dari rumah. Tidak ada pula kegiatan belajar mengajar langsung di sekolah, karena semua bisa dilakukan dari rumah masing-masing. Perusahaan seperti Twitter pada Oktober 2020 lalu bahkan mempersilakan karyawannya untuk bekerja di rumah selama karirnya.

Apakah masa depan konferensi video akan cerah? Tampaknya akan begitu, namun untuk saat ini jalan masih panjang. Pertemuan daring, dalam beberapa hal, juga belum bisa menggantikan pertemuan luring.

Masalah pertama tentu saja soal sinyal internet. Tidak semua orang dan tempat di dunia ini memiliki akses internet yang memadai untuk melakukan panggilan video, termasuk di Indonesia. Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018, 55,7% kontribusi internet di Indonesia berasal dari Pulau Jawa. Wilayah lain seperti Nusa Tenggara bahkan hanya menyumbang kontribusi sebesar 5,2% saja.

jasa subtitle
Peta tingkat penggunaan internet di Indonesia versi APJII. (Kemenkominfo)

Hal ini berimbas pada koneksi internet yang bisa bervariasi masing-masing orang. Koneksi yang tidak stabil membuat suara mudah terputus-putus. Dalam satu pertemuan daring, semua orang yang bergabung harus menggunakan aplikasi yang sekiranya memudahkan semuanya, dan itu tidak selalu mudah. Sebuah laporan yang dikutip Tirto.id dari The Washington Post menyebut adanya kesulitan saat mencari aplikasi yang mudah digunakan bagi semua peserta, karena koneksi yang tidak selalu stabil.

Tidak hanya itu, layanan konferensi video juga masih dihantui soal isu keamanan. Ketika layanan ini mencuat di awal pandemi, kita pernah mendengar istilah “zoombombing”, tindakan menyusup ke suatu pertemuan daring dan mengirim pesan-pesan yang tidak pantas. Di April 2020 akun seorang calon doktor di AS yang menjalani sidang tugas akhir dilaporkan dibajak dengan konten pornografi dan rasisme. Rapat virtual Dewan TIK Nasional pun sempat dibajak.

Pertemuan daring juga tidak sepenuhnya dapat menggantikan pertemuan luring. Pertemuan luring memungkinkan adanya hubungan antarmanusia yang lebih kompleks. Dalam suatu artikel di Journal of Business and Technical Communication yang terbit tahun 2012, ada hal-hal tertentu seperti menjalin koneksi baru dan percakapan informal yang tidak dimiliki dalam rapat virtual. Semacam chemistry-nya dapat kalau bisa ketemuan langsung, wkwk.

Sementara itu, pembelajaran di sekolah secara daring juga memunculkan masalah baru. Selain koneksi internet yang dapat membuat anak lebih mudah stres, ketidaksiapan guru dan siswa dalam berhadapan dengan kelas daring menjadi kendala tersendiri dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh sebagian guru, beberapa materi pelajaran juga dianggap lebih mudah bila dijelaskan secara langsung dengan tatap muka. Apalagi orang tua yang harus berhadapan dengan kerewelan anaknya.

Teknologi semakin berkembang dan, seperti halnya perubahan, tidak bisa kita cegah. Beradaptasi dengan perubahan adalah satu-satunya cara yang harus kita lakukan untuk menghadapi perubahan sepertu. Namun, yang harus kita pahami, teknologi bukanlah pengganti sempurna untuk setiap kegiatan kita. Teknologi diciptakan untuk membantu kita, bukan memperbudak kita~

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *