Apa itu cerpen dan bagaimana strukturnya? Berikut pengertian cerpen beserta ciri-ciri, kaidah kebahasaan, struktur, dan contohnya.
—
Apa Itu Cerpen?
Karya sastra Indonesia memiliki beragam bentuk, salah satunya cerpen. Cerpen merupakan akronim dari cerita pendek. Sesuai namanya, cerpen adalah karya sastra berupa cerita yang ukurannya relatif pendek.
Pengertian Cerpen Menurut Para Ahli
Berikut adalah pengertian cerpen menurut para ahli.
Pengertian Cerpen Menurut JS Badudu
Pengertian cerpen menurut Badudu adalah cerita pendek yang berfokus pada satu masalah atau peristiwa. Masalah atau konflik tersebut hanya berpusat pada satu tokoh cerita saja.
Pengertian Cerpen Menurut Hidayati
Hidayati (2009, 91) mengemukakan pengertian cerpen adalah suatu jenis karangan dalam bentuk prosa fiksi dengan ukuran yang relatif pendek. Cerpen biasanya bisa selesai dibaca sekali duduk. Maksudnya adalah kita tidak memerlukan waktu yang banyak untuk membacanya sampai selesai.
Pengertian Cerpen Menurut Kemendikbud
Menurut Kemendikbud (2014, 6) yang dimaksud dengan cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Sebuah cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa, dan pengalaman. Maksudnya, cerpen adalah karangan yang berbentuk cerita bebas, yaitu tidak terikat oleh rima, irama, dan kemerduan bunyi seperti puisi.
Pengertian Cerpen Menurut Kosasih
Sementara pengertian cerpen menurut Kosasih (2014, 111) adalah cerita yang selesai dibaca dalam kurun waktu sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5000 kata. Maka dari itu, cerita pendek sering diungkapkan sebagai cerita yang dapat dibaca sekali duduk.
Pengertian Cerpen Menurut Sumardji
Sumardi dalam Hidayati (2009, 91) mengemukakan bahwa cerpen menurut wujud fisiknya adalah cerita yang pendek. Ukuran panjang pendeknya suatu cerita bersifat relatif, sehingga tidak ada penjelasan yang mutlak mengenai aturan panjang pendeknya cerita.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan pengertian teks cerpen adalah salah satu karya sastra yang berbentuk prosa. Isi cerpen biasanya berpusat pada masalah yang dihadapi oleh tokoh sentral. Sementara tokoh-tokoh lainnya hanya sebagai pembantu atau pendukung cerita. Cerpen dapat dibaca dalam sekali duduk karena panjangnya hanya kisaran 500-5000 kata.
Baca juga: Pengertian Fabel
Fungsi Cerpen
Fungsi cerpen yang paling umum adalah memberikan hiburan bagi pembacanya. Dengan membaca cerpen, kita seolah-olah hanyut dalam ceritanya. Ketika tokoh utamanya mengalami kesenangan, kita pun turut merasakan kegembiraannya. Begitu pun saat tokoh utamanya mengalami kesedihan, kita juga turut merasakan kesedihannya.
Selain itu, di dalam cerpen juga terdapat pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Melalui cerpen tersebut, pembaca diharapkan dapat mengambil pesan moral yang ada di dalamnya.
Menurut Kosasih (2014, 111), di dalam cerpen biasanya terdapat nilai atau hikmah yang bisa dipetik di balik perilaku tokoh atau pun di antara peristiwa yang terjadi di dalamnya. Hal ini karena cerpen tidak lepas dari nilai-nilai berikut ini:
- Nilai agama berhubungan dengan perilaku benar atau salah dalam menjalankan aturan-aturan dengan Sang Pencipta;
- Nilai budaya berhubungan dengan pemikiran, kebiasaan, dan hasil karya cipta manusia;
- Nilai sosial berkaitan dengan tata laku antara sesama manusia;
- Nilai moral berhubungan dengan perbuatan baik dan buruk yang menjadi dasar kehidupan manusia dan masyarakat.
Apa Saja Ciri-Ciri Cerpen?
Cerpen memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan jenis karya sastra lainnya.
Ciri-Ciri Cerpen Menurut Kemendikbud
Menurut Kemendikbud (2014, 6), ciri-ciri cerpen adalah sebagai berikut:
- Berbentuk tulisan singkat, padat, dan lebih pendek daripada novel;
- Jumlah katanya kurang dari 10.000;
- Sumber cerita biasanya berasal dari kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri atau orang lain;
- Hanya mengangkat permasalahan tunggal, jadi tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya;
- Habis dibaca dalam sekali duduk;
- Tokoh-tokohnya diceritakan saat menghadapi konflik sampai penyelesaiannya;
- Kata-kata yang digunakan sangat ekonomis dan mudah dikenal;
- Meninggalkan kesan mendalam dan memberikan efek pada perasaan pembaca;
- Menceritakan satu kejadian dari terjadinya perkembangan jiwa dan krisis, tetapi tidak sampai menimbulkan perubahan nasib;
- Memiliki alur tunggal dan lurus;
- Penokohannya sangan sederhana, singkat, dan tidak mendalam.
Ciri-Ciri Cerpen Menurut Tarigan
Tarigan (2011, 180) mengemukakan bahwa ciri-ciri cerpen adalah:
- Ciri-ciri utama cerpen adalah singkat, padu, dan intensif;
- Memiliki unsur utama berupa adegan, tokok, dan gerak;
- Bahasa yang digunakan haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian pembaca;
- Mengandung interpretasi pengarang mengenai konsepsinya tentang kehidupan, baik secara langsung maupun tidak;
- Dapat menarik perasaan dan pikiran pembaca;
- Terdapat sebuah insiden yang menguasai jalan cerita;
- Harus memiliki seorang pelaku utama;
- Harus mempunyai satu efek atau kesan yang menarik;
- Jumlah katanya di bawah 10.000 kata.
Baca juga: Ciri-Ciri Teks Drama
Apa Saja Struktur dari Cerpen?
Setiap genre karya sastra mempunyai struktur maupun unsur yang mendukung keutuhannya. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan sehingga tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Struktur cerpen berkaitan dengan unsur intrinsik berupa alur, yaitu jalinan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab akibat ataupun kronologis.
Struktur Cerpen Menurut Kosasih
Menurut Kosasih (2014, 113), struktur teks cerpen adalah sebagai berikut.
Abstrak
Struktur cerpen yang pertama adalah abstrak. Abstrak adalah bagian yang mengggambarkan kesluruhan isi cerita. Keberadaan abstrak bersifat opsional, boleh ada atau tidak.
Orientasi
Struktur cerpen selanjutnya adalah orientasi. Bagian ini berisi pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan atau pun bibit masalah yang dialami tokoh.
Komplikasi
Komplikasi menceritakan puncak masalah yang dialami tokoh utama. Bisa dibilang, bagian ini merupakan bagian yang paling menegangkan. Rasa penasaran pembaca mengenai penyelesaian masalah yang dilakukan oleh tokoh bisa terjawab di bagian ini.
Evaluasi
Evaluasi adalah bagian yang berisi komentar atau tanggapan atas peristiwa puncak yang diceritakannya. Komentar atau tanggapan yang dimaksud bisa dikemukakan langsung oleh pengarang atau diwakili oleh tokoh tertentu.
Resolusi
Resolusi adalah bagian yang berisi tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita. Pada bagain ini ketegangan sedikit mereda, hanya tersisa masalah-masalah kecil yang perlu mendapat penyelesaian.
Koda
Bagian yang terakhir adalah koda. Bagian ini berisi kesimpulan mengenai hal-hal yang dialami tokoh utama. Bagian ini juga bisa berisi komentar atau tanggapan akhir mengenai keseluruhan isi cerita.
Struktur Cerpen Menurut Suherli
Sementara dalam buku Bahasa Indoensia Kelas XI, Suherli (2017) mengemukakan bahwa struktur teks cerpen terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
Exposition atau orientation
Bagian exposition berisi pengenalan situasi cerita. Pada bagian ini, pengarang memperkenalkan tokoh yang ada di dalam cerita dan hubungan antartokoh.
Complication
Struktur cerpen selanjutnya menurut Suherli (2017) adalah complication. Bagian ini menyajikan peristiwa awal yang menimbulkan konflik atau masalah yang dihadapi tokoh.
Rising action
Pada bagian ini, terjadi peningkatan situasi yang meningkatkan konflik.
Turning point
Bagian selanjutnya adalah turning point atau disebut juga sebagai klimaks. Pada bagian ini, situasi dalam cerpen sudah memuncak. Bisa dibilang, bagian ini merupakan penentuan nasib beberapa tokoh, apakah dia berhasil menyelesaiakan masalah yang dihadapi atau gagal.
Ending atau coda
Pada bagian akhir cerita, terdapat coda. Bagian ini berisi penjelasan mengenai sikap atau nasib yang menimpa tokoh setelah mengalami puncak konflik. Akan tetapi, ada juga cerpen yang dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian. Jadi penyelesaian cerpen tersebut diserahkan kepada imaji pembaca.
Kedua struktur tersebut merupakan tahapan umum dari cerpen. Jadi, sangat mungkin jika ada cerpen yang tidak mempunyai struktur seperti itu. Hal ini tergantung pada kreativitas penulis dalam berkarya.
Kaidah Kebahasaan Cerpen
Kaidah kebahasaan cerpen adalah patokan yang sudah pasti dalam penulisan teks. Kaidah kebahasaan ini digunakan untuk membedakan ciri kebahasaan teks cerpen dengan jenis teks lainnya.
Menurut Kosasih (2014, 116), kaidah kebahasaan cerpen adalah:
- Menggunakan bahasa tidak baku
- Mengisahkan gambaran kehidupan sehari-hari
- Kalimatnya pendek-pendek dan mengalami pelesapan.
Contoh Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Berikut merupakan contoh cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Cerpen ini dinukil dari buku kumpulan cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Cerpen ini terbit pertama kali di majalah Kisah pada tahun 1955.
Robohnya Surau Kami
oleh A.A. Navis
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘Apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!’
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”[]
[Dinukil dari AA Navis, Robohnya Surau Kami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 1-14.]
Itu tadi adalah pembahasan mengenai pengertian cerpen, diikuti dengan ciri-ciri, kaidah kebahasaan, struktur, dan contohnya. Semoga setelah ini kita menjadi paham mengenai pengertian cerpen dan strukturnya.